TRADISI ISAM NUSANTARA
➤ Kompetensi Dasar
- meyakini bahwa tradisi islam nusantara sebagai bukti ajaran islam dapat mengakomodir nilai nilai sosial budaya masyarakat
- menunjukan perilaku peduli lingkungan sebagai implementasi dari mempelajari sejarah tradisi islam nusantara
- memahami sejarah tradisi islam nusantara
- menyajikan sejarah dan perkembangan tradisi islam nusantara
➤ Tujuan Pembelajaran
- menjelaskan tradisi nusantara sebelum islam
- menjelaskan akulturasi budaya islam
- menjelaskan cara melestarikan tradisi islam nusantara
- mengambil hikmah mempelajari tradisi islam nusantara
A. TRADISI NUSANTARA SEBELUM ISLAM
Jauh sebelum Islam masuk dan berkembang di Nusantara, masyarakat telah memiliki keragaman budaya dan tradisi. Bahkan, sebelum agama Hindu – Buddha masuk ke Indonesia, masyarakat telah memiliki kepercayaan kepada benda – benda alam dan ruh nenek moyang. Kepercayaan kepada benda – benda alam dan ruh nenek moyang ini berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat. Banyak upacara ritual dilakukan sebelum melakukan kegiatan tertentu. Misalnya ritual sebelum melaksanakan hajatan, kelahiran, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Tradisi ini mereka lakukan turun – temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka patuh menjalankan tradisi tersebut karena beranggapan jika terjadi pelanggaran, akan mendapat kutukan dari arwah nenek moyang yang akibatnya akan mendatangkan bencana di tengah – tengah masyarakat.
Masuknya agama Hindu – Buddha ke Indonesia tidak menyebabkan tradisi – tradisi tersebut musnah, justru makin tumbuh dan berkembang. Hal ini dikarenakan pengaruh agama Hindu – Buddha menyesuaikan dengan tradisi – tradisi di masyarakat. Bentuk penyesuaiannya adalah dengan mengubah cara – cara upacara ritual sehingga sesuai dengan nilai – nilai ajaran Hindu – Buddha.
Masuknya kebudayaan Hindu – Buddha dari India ke Nusantara melalui proses penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat. Tentu saja penyesuaian ini tanpa menghilangkan unsur asli budaya di Nusantara. Di antara pengaruh kebudayaan Hindu – Buddha dalam kebudayaan Indonesia, misalnya tampak pada seni rupa dan seni ukir. Seni rupa dan seni ukir ini terlihat pada relief dinding – dinding candi. Sebagai contoh, pada relief Candi Borobudur tampak adanya perahu bercadik yang merupakan gambaran pelaut nenek moyang bangsa Indonesia. Terdapat pula relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha sekaligus ada gambaran lingkungan alam Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu – Buddha juga tampak pada bidang seni bangunan, misalnya pada bentuk bangunan candi. Di india, candi merupakan kuil untuk memuja para dewa dengan bentuk stupa. Di Indonesia, candi selain sebagai tempat pemujaan, juga berfungsi sebagai makam raja atau untuk tempat menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Candi sebagai tanda penghormatan masyarakat terhadap sang raja.
Di atas makam sang raja, biasanya didirikan patung raja yang mirip dengan dewa yang dipujanya. Hal ini sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan tradisi pemakaman dan pemujaan ruh nenek moyang di Indonesia. Akibatnya, bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah punden berundak, yaitu bangunan tempat pemujaan ruh nenek moyang. Contoh ini dapat dilihat pada bangunan Candi Borobudur.
B. AKULTURASI BUDAYA ISLAM
Akulturasi merupakan proses percampuran antara unsur kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain sehingga terbentuk kebudayaan yang baru tanpa menghilangkan sama sekali ciri khas masing – masing kebudayaan lama. Kedatangan ajaran Islam di Nusantara juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan Nusantara saat itu. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut tidak hanya bersifat kebendaan atau material, tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Budaya ini kemudian dikenal dengan istilah budaya Islam. Budaya Islam adalah segala macam bentuk cipta, rasa dan karsa yang berasal dan berkembang dalam masyarakat serta telah mendapat pengaruh dari Islam. Budaya dalam pandangan Islam adalah sebuah tata nilai dan tradisi yang berkembang dari ajaran Islam. Tata nilai tersebut merupakan hasil penerjemahan dari pokok – pokok ajaran al – Qur’an dan hadits dalam kehidupan nyata. Tradisi Islam adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun – temurun oleh masyarakat dan di dalamnya mengandung ajaran – ajaran Islam.
Islam sesungguhnya membuka diri terhadap budaya – budaya dari luar Islam. Islam mempersilahkan siapapun untuk berpendapat, mengemukakan ide dan gagasan ataupun menciptakan budaya tertentu, asalkan sesuai prinsip – prinsip sebagai berikut :
- Tidak melanggar ketentuan hokum halal – haram.
- Mendatangkan mashlahat (kebaikan) dan tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan)
- Sesuai dengan prinsip al – Wala’ (kecintaan yang hanya kepada Allah SWT dan apa saja yang dicintai Allah SWT) dan al – Bara’ (berlepas diri dan membenci dari apa saja yang dibenci oleh Allah SWT)
Ketiga prinsip di atas menjadi pedoman baku bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan budaya – budaya lain di luar Islam. Berlandaskan ketiga prinsip tersebut, akan lahir sebuah kebudayaan Islam yang memiliki ciri khusus, yaitu budaya yang berasaskan tauhid kepada Allah SWT. Kita dipersilahkan untuk berinteraksi maupun mengambil manfaat dari budaya bangsa – bangsa lain, selama ketiga prinsip di atas tidak dilanggar.
Kesenian termasuk dalam unsur kebudayaan, sebab perwujudan dari kebudayaan tidak terlepas dari hasil olah piker dan perilaku manusia lewat bahasa, pergaulan dan organisasi social. Kesenian merupakan salah satu media paling mudah diterima dalam penyebaran Islam. Salah satu buktinya adalah penyebaran Islam dengan menggunakan media wayang kulit dan gamelan seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Berikut ini adalah seni budaya Nusantara yang telah mendapatkan pengaruh dari ajaran Islam.
1. Nama – Nama Bulan dalam Penanggalan Jawa.
Masuknya Islam ke Indonesia, membawa pengaruh pada system penanggalan. Islam menggunakan kalender hijriah yang berpatokan pada perputaran bulan. Bentuk akulturasi antara penanggalan Islam dan penanggalan Jawa dapat terlihat pada penamaan bulan sebagai berikut :
NO |
NAMA BULAN DALAM ISLAM |
NAMA BULAN DALAM PENANGGALAN JAWA |
1 |
Muharram |
Sura |
2 |
Safar |
Sapar |
3 |
Rabiul awwal |
Mulud |
4 |
Rabiul akhir |
Bakda mulud |
5 |
Jumadil awal |
Jumadil awal |
6 |
Jumadil akhir |
Jumadil akhir |
7 |
Rajab |
Rajab |
8 |
Sya’ban |
Ruwah |
9 |
Ramadhan |
Pasa |
10 |
Syawal |
Syawal |
11 |
Zulqaidah |
Apit |
12 |
Zilhijjah |
Besar |
2. Seni Bangunan Masjid.
Wujud akulturasi terlihat dalam bangunan masjid kuno, yaitu dilihat dari bentuk bangunan, menara dan letak masjid. Kebanyakan bentuk bangunan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk bujur sangkar. Selain itu, atap masjid berbentuk tumpang. Atap tersebut tersusun keatas makin kecil dan tingkat teratas disebut limas. Jumlah tumpang biasanya gasal. Bentuk masjid seperti ini disebut dengan meru. Bentuk tumpang ini merupakan akulturasi dengan Hindu, dimana pura milik orang Hindu berbentuk tumpang. Bentuk atap ini sangat berbeda dengan masjid – masjid di Timur Tengah.
Menara berfungsi sebagai tempat menyerukan azan. Bentuk akulturasi ini terlihat pada menara Masjid Kudus yang terbuat dari Terakota yang tersusun seperti candi. Di Banten bentuk menara menyerupai mercusuar di Eropa.
Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki ciri khusus. Kebanyakan masjid di Indonesia terletak di sebelah barat alun – alun istana atau keratin. Selain itu, masjid juga diletakkan dekat dengan makam, terutama makam raja – raja.
3. Seni Ukir dan Kaligrafi.
Seni ukir yang dimaksud adalah seni ukir hias untuk hiasan masjid, bangunan makam di bagian jirat, nisan, cungkup dan tiang cungkup. Seni ukir hias ini antara lain berupa dedaunan, motif bunga (teratai), bukti – bukti karang, panorama alam dan ukiran kaligrafi. Kaligrafi adalah seni menulis indah dengan merangkaikan huruf – huruf Arab atau ayat suci al – Qur’an, hadis, asma Allah SWT, shalawat maupun kata – kata hikmah sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Kaligrafi Islam sering disebut dengan istilah khat. Kaligrafi sebagai motif hiasan dapat dijumpai di masjid – masjid kuno, seperti ukir – ukiran yang terdapat pada masjid di Jepara dan sekitarnya. Bahkan, masjid – masjid sekarang juga banyak dijumpai tulisan kaligrafi, seperti pada bagian dalam dan luar masjid, dinding, mimbar, bahkan di tiang – tiangnya.
4. Seni Tari.
Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat bentuk – bentuk tarian yang berkaitan dengan bacaan shalawat. Misalnya pada seni rebana diikuti dengan tari – tarian zipin, bacaan shalawat dengan menggunakan lagu – lagu tertentu. Tari Zapin adalah sebuah tarian yang mengiringi music qasidah dan gambus. Tari Zapin diperagakan dengan gerak tubuh yang indah dan lincah. Music yang mengiringinya berirama padang pasir atau daerah Timur Tengah. Tari Zapin biasa dipentaskan pada upacara atau perayaan tertentu misalnya : khitanan, pernikahan dan peringatan hari besar Islam lainnya. Di samping Tari Zapin, ada tari Seudati dari Aceh. Tarian ini sering disebut Tari Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan orang – orang besar. Disebut sebagai Tari Saman karena mula – mula permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Saman berasal dari bahasa Arab yang artinya delapan. Dalam Tari Seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu yang berupa shalawat.
5. Seni Musik.
Kebudayaan Islam kita juga mengenal seni music berupa rebana, hadrah, kasidah, nasyid dan gambus yang melantunkan lagu – lagu dengan syair Islami. Hadrah adalah salah satu jenis alat music yang bernapaskan Islam. Lagu – lagu yang dibawakan adalah lagu bernuansa Islami, yaitu tentang pujian kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabi SAW. Pada zaman sekarang, kesenian hadrah biasanya hadir ketika acara pernikahan, akikahan atau sunatan.
Kasidah merupakan suatu jenis seni suara yang menampilkan nasihat – nasihat keislaman. Lagu dan syairnya banyak mengandung dakwah Islamiyah yang berupa nasihat – nasihat. Shalawat kepada Nabi dan do’a – do’a. biasanya, kasidah diiringi dengan music rebana. Sejarah pertama kali penggunaan music rebana adalah ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah menuju Madinah. Sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW disambut dengan meriah di Madinah dengan lantunan music rebana.
6. Seni Pertunjukkan.
Seni pertunjukkan wayang kulit merupakan perpaduan kebudayaan Jawa dan unsur keislaman. Bagi orang Jawa, wayang bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga wejangan (nasihat – nasihat) karena sarat dengan pesan – pesan moral yang menjadi filsafat hidup orang Jawa. Pertunjukkan wayang diiringi oleh seperangkat alat music gamelan.
Wayang pada mulanya dibuat dari kulit kerbau, hal ini dimulai pada zaman Raden Patah. Dahulunya, lukisan seperti bentuk manusia, kemudian para wali mengubah bentuknya. Dari yang semula lukisan wajahnya menghadap lurus, kemudian agak dimiringkan. Sumber cerita dalam mementaskan wayang diilhami dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Tentunya, para Wali mengubahnya menjadi cerita – cerita keislaman sehingga tidak ada unsur kemusyrikan di dalamnya. Salah satu lakon yang terkenal dalam pewayangan ini adalah Jimas Kalimasada yang dalam Islam diterjemahkan menjadi Jimat Kalimat Syahadat.
7. Seni Sastra.
Seni sastra yang berkembang pada zaman Islam umumnya berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Ditinjau dari corak dan isinya, kesusastraan zaman Islam dibagi menjadi beberapa jenis. Meskipun pembagian itu tidak dapat dilakukan secara tegas sebab sering terjadi suatu naskah dapat dimasukkan kedalam dua golongan sekaligus. Jenis – jenis karya sastra yang sesuai dengan ajaran Islam diantaranya sebagai berikut :
a) Babad.
Babad adalah dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad, tokoh, tempat dan peristiwa hamper semua ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan secara berlebihan. Babad merupakan campuran antara fakta sejarah, mitos dan kepercayaan. Contohnya Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, Babad Surakarta, Babad Giyanti dan babad Pakepung.
Di daerah Melayu, babad dikenal dengan nama sejarah sarasilah (silsilah) atau tambo, yang juga diberi judul hikayat. Contohnya ; Tambo Minangkabau, Hikayat Raja – raja Pasai dan Hikayat sarasilah Perak.
b) Hikayat.
Hikayat adalah cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan. Tidak jarang hikayat berpangkal pada tokoh – tokoh sejarah atau peristiwa yang benar – benar terjadi. Hikayat yang terkenal adalah Hikayat Raja – raja Pasai, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman dan lain – lain.
c) Suluk.
Suluk adalah kitab – kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik karena sifatnya pantheisme, yaitu menjelaskan tentang bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo Lan Gusti). Pujangga – pujangga kerajaan dan para wali yang menghasilkan karya – karya sastra jenis suluk adalah seperti di bawah ini ;
- Sunan Bonang, Mengembangkan ilmu suluk dalam bentuk puisi yang dibukukan dalam Kitab Bonang.
- Hamzah Fansuri. Menghasilkan karya sastra dalam bentuk puisi yang bernafaskan keislaman, misalnya Syair Perahu dan Syair Dagang.
- Syekh Yusuf, Seorang ulama Makassar yang diangkat sebagai pujangga di Kerajaan Banten, berhasil menulis beberapa buku tentang Tasawuf.
d) Kesenian Debus.
Kesenian Debus difungsikan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah. Debus merupakan seni bela diri untuk memupuk rasa percaya diri dalam menghadapi musuh. Kesenian ini mempertunjukkan aksi kekebalan tubuh terhadap benda – benda tajam. Filosofi dari kesenian ini adalah kepasrahan kepada Allah SWT yang menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya.
C. MELESTARIKAN TRASIDI ISLAM NUSANTARA
Tradisi adalah atau adat istiadat yang dilakukan turun – temurun oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Islam dating, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi local. Melalui kehadiran Islam, kepercayaan dan tradisi di Nusantara tersebut membaur dan dipengaruhi nilai – nilai Islam. Karenanya, muncullah tradisi Islam Nusantara sebagai bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi local Nusantara. Tradisi Islam di Nusantara digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu. Para ulama tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat. Mereka memasukkan ajaran – ajaran Islam kedalam tradisi tersebut, dengan harapan masyarakat tidak merasa kehilangan adat dan ajaran Islam dapat diterima.
Seni budaya, adat dan tradisi yang bernapaskan Islam, tumbuh dan berkembang di Nusantara. Tradisi ini sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Untuk itulah kita sebagai generasi muda Islam harus mampu merawat, melestarikan, mengembangkan dan menghargai hasil karya para ulama terdahulu. Mengingat zaman modern sekarang ini, ada sebagian kelompok yang mengharamkan tradisi beralasan pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada. Mereka yang membolehkan dengan dasar bahwa tradisi tersebut digunakan sebagai sarana dakwah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita sebagai generasi penerus Islam harus bijaksana dalam menyikapi tradisi tersebut. Memang, harus diakui ada tradisi – tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Tradisi seperti ini harus kita tolak dan buang supaya tidak ditiru oleh generasi berikutnya.
Para ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi – tradisi tersebut dengan sangat matang, baik dari segi madharat – mafsadat maupun halal – haramnya. Mereka sangat paham hokum agama sehingga tidak mungkin mereka menciptakan tradisi tanpa pertimbangan – pertimbangan tersebut.
Banyak sekali tradisi atau budaya Islam yang berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing – masing. Berikut ini adalah beberapa tradisi atau budaya Islam dimaksud.
1. Halal Bihalal.
Halal Bihalal dilakukan pada Bulan Syawal, berupa acara saling bermaaf – maafan. Setelah umat Islam selesai puasa Ramadhan sebulan penuh, dosa – dosanya telah diampuni oleh allah SWT. Namun, dosa kepada sesame manusia belum akan diampuni Allah SWT jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian). Tradisi ini erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri.
Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali persaudaraan. Sampai saat ini, tradisi ini masih dilakukan di semua lapisan masyarakat. Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana kepresidenan. Bahkan, acara halal bihalal sudah menjadi tradisi nasional yang bernapaskan Islam.
Istilah halal bihalal berasal dari bahasa Arab (halla atau halal), tetapi tradisi halal bihalal itu sendiri adalah tradisi khas bangsa Indonesia, bukan berasal dari Timur Tengah. Bahkan, bisa jadi ketika arti kata ini ditanyakan kepada orang arab, mereka akan kebingungan dalam menjawabnya. Halal bihalal sebagai sebuah tradisi khas Islam Indonesia, lahir dari sebuah proses sejarah. Tradisi ini digali dari kesadaran batin tokoh – tokoh umat Islam masa lalu untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahim) antar umat. Dengan acara halal bihalal, pemimpin agama, tokoh – tokoh masyarakat dan pemerintah akan berkumpul saling berinteraksi dan saling bertukar informasi. Komunikasi ini akan mempererat kekeluargaan dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Pada acara halal bihalal, semua orang mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Hal ini mengandung maksud bahwa ketika secara lahir, telah memaafkan yang ditandai dengan berjabat tangan atau mengucapkan kata maaf, batinnya juga harus dengan tulus memaafkan dan tidak lagi tersisa rasa dendam dan sakit hati.
2. Tabot atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu dan Padang untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husen bin ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW ini gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharram 61 hijriah (681 M). perayaan di Tabot atau Tabuik pertama kali dilaksanakan oleh Syaik Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaikh Burhanuddin menikah dengan wanita Bengkulu, kemudian keturunannya disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram (berdasar Kalender Islam) setiap tahun.
Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “Tabut” yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi ini dibawa oleh para tukang yang membangun benteng Marlborough (1718 – 1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh inggris dari madras dan Bengali di bagian selatan india.
3. Kupatan (Bakdo Kupat).
Di Pulau Jawa, bahkan sudah berkembang ke daerah – daerah lain, terdapat tradisi Kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya idul fitri. Biasanya, masyarakat berkumpul di suatu tempat seperti Mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat (Ketupat). Kupat merupakan makanan yang teruat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning (daun Kelapa yang masih muda). Sampai saat ini, ketupat menjadi mascot hari raya idul Fitri.
Ketupat memang sebagai makanan khas lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar sajian pada hari kemenangan, tetapi punya makna mendalam dalam tradisi Jawa. Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama. Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi singkatan atau di – jarwo dhodok – kan menjadi rangkaian kata yang sesuai dengan momennya yaitu lebaran. Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi symbol untuk saling memaafkan.
4. Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta.
Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilaksanakan dan dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa – jasa para wali songo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah jawa. Peringatan yang lazim dinamai maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu, setiap kali Sunan Bonang membunyikan gamelan, diselingi dengan lagu – lagu yang berisi ajaran Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain.
Jadi, sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebagai tuntunan bagi umat manusia, diharapkan masyarakat yang dating ke Sekaten juga mempunyai motivasi untuk mendapatkan berkah dan meneladani nabi Muhammad SAW. Dalam upacara Sekaten tersebut, disuguhkan gamelan pusaka peninggalan dinasti majapahit yang telah dibawa ke Demak. Suguhan ini sebagai pertanda bahwa dalam berdakwah, para wali mengemasnya dengan menjalin kedekatan kepada masyarakat.
5. Grebeg.
Grebeg merupakan tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan sultan hamengku Buwana ke – 1 oleh Keraton Yogyakarta. Grebeg dilaksanakan saat sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebeg di Yogyakarta diselenggarakan 3 kali dalam setahun.
- Pertama. Grebeg Pasa – Syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr.
- Kedua. Grebeg Besar, diadakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah untuk merayakan hari raya Kurban.
- Ketiga. Grebeg Maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid nabi Muhammad SAW.
6. Grebeg Besar di Demak.
Tradisi Grebek Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari raya Idul Adha atau Idul Kurban. Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Wali songo dalam dakwah.
Pada awalnya, Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak. Masjid ini didirikan oleh wali Songo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi. Tahun berdirinya masjid ini tertulis pada bagian Candra sengkala “Lawang Trus Gunaning Jarimo”.
Pada tahun 1428, tertulis dalam caka tersebut, Sunan Giri meresmikan penyempurnaan Masjid Demak. Tanpa diduga, pengunjung yang hadir sangat banyak. Kesempatan ini kemudian digunakan para wali untuk melakukan Dakwah Islam. Jadi, tujuan semula Grebeg Besar adalah untuk merayakan hari raya Kurban dan memperingati peresmian Masjid Demak.
7. Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado.
Di kawasan Kedaton Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok Maulid. Istilah Kerobok berasal dari bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau berkerumun oleh orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman Masjid Jami’ Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awwal.
Kegiatan Kerobok Maulid ini diawali dengan pembacaan Barzanji di Masjid Jami’Hasanuddin Tenggarong. Kemudian, dari Keraton Sultan Kutai, puluhan prajurit Kesultanan akan keluar dengan membawa usung – usungan yang berisi kue tradisional, puluhan bakul Sinto atau bunga Rampai dan Astagona.
Usung – usungan ini kemudian dibawa berkeliling antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir di Masjid Jami’ Hasanuddin. Kedatangan prajurit Keraton dengan membawa Sinto, Astagona dan kue – kue di Masjid Hasanuddin ini akan disambut dengan pembacaan Asrakal yang kemudian membagi – bagikannya kepada warga masyarakat yang ada di dalam masjid. Akhir dari upacara Kerobok ini ditandai demgan penyampaian hikmah Maulid oleh seorang ulama.
Lain di Kutai, lain pula di Manado. Untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW warga muslim di Kota Manado, Sulawesi Utara, menggelar tradisi pawai obor. Obor yang dibawa berpawai oleh ribuan warga membuat jalan – jalan di Kota Manado terang. Bagi warga muslim setempat, pawai obor sudah jadi tradisi dan dilaksanakan turun – temurun sebagai symbol penerangan. Lebih lanjut, symbol penerangan itu bermakna bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah membawa ajaran yang menjadi cahaya penerang iman saat manusia hidup dalam kegelapan dan kemusyikan.
8. Tradisi Rabu Kasan di Bangka.
Tradisi Rabu Kasan dilaksanakan di Kabupaten Bangka setiap tahun, tepatnya pada hari rabu terakhir bulan Safar. Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari Kara Rabu Pungkasan (terakhir). Upacara Rabu Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di Bangka saja, tetapi juga di daerah lain, seperti di Bogor Jawa Barat dan Gresik Jawa Timur. Pada dasarnya maksud dari tradisi ini sama, yaitu untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari Bala’ (musibah dan bencana).
Di kabupaten Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air Anyer, kecamatan Merawang. Sehari sebelum upacara Rabu Kasan di Bangka diadakan, semua penduduk telah menyiapkan segala keperluan upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak dan makanan untuk dimakan bersama pada hari rabu esok hari.
Tepat pada hari Rabu Kasan, kira – kira pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di tempat upacara dengan membawa makanan dan ketupat tolak bala sebanyak jumlah keluarga masing – masing. Acara diawali dengan berdirinya seseorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar lalu mengumandangkan azan. Lalu disusul dengan pembacaan doa bersama – sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau melepaskan anyaman ketupak tolak balak yang telah tersedia tadi, satu per satu menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masing – masing. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah itu, masing – masing pergi mengambil air wafak yang telah disediakan untuk semua anggota keluarganya. Setelah selesai acara ini, mereka pulang dan bersilaturahmi ke rumah tetangga atau keluarganya.
9. Dugderan di Semarang.
Tradisi Dugderan merupakan tradisi khas yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Dugderan biasanya diawali dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang.
Ritual Dugderan akan dilaksanakan setelah salat Ashar yang diawali dengan musyawarah untuk menentukan awal bulan Ramadhan yang diikuti oleh para ulama. Hasil musyawarah itu kemudian diumumkan kepada khalayak. Sebaik tanda dimulainya berpuasa, dilakukan pemukulan bedug. Hasil musyawarah ulama yang telah dibacakan itu kemudian diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu, Kanjeng Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan Gubernur bersama – sama memukul bedug kemudian diakhiri dengan doa.
10. Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk pauknya dalam bentuk kerucut. Nasi tumpeng umumnya berupa nasi kuning atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang dituakan dari orang – orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Saat ini, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa Indonesia.
0 komentar: