Senin, 16 November 2015

Peluang Dan Tantangan Guru PAI di Sekolah




Fungsi dan pendekatan Pendidikan Agama Islam yang belum dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan dan guru agama pada umumnya merupakan bukti yang paling kongkrit dari problematika pendidikan itu sendiri. Bahwa setelah para peserta didik digembleng pendidikan agama dalam jangka sekian waktu di sekolah mulai SD hingga SMA, adakah jaminan bahwa nilai-nilai luhur itu telah tertanam dan melekat dalam jiwa peserta didik yang akan memengaruhi segala prilaku sehari-hari dalam kehidupan individual, maupun sosial kemasyarakatan.
Menjadi seorang guru pendidikan agama islam  dimasa moderen seperti sekarang memang cukup sulit. Terlebih tantangan atau problematika yang dihadapi saat mengajar terkadang bukan dari siswa atau lingkungan sekolah saja. Berbagai tantangan yang dihadapi seorang guru agama islam dalam mengajarkan ilmu agama merupakan tanggung jawab yang cukup sulit.
Permasalahan pendidikan agama islam di sekolah salah satunya ialah jam belajar yang minim. Waktu yang hanya dua jam dalam satu mingu itu tentu tidak cukup untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara formal pelaksanaan pendidikan agama islam disekolah hanya dua jam dalam seminggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dari pendidikan yang hanya dua jam dalam satu minggu. Jika hanya sebatas memberikan pengajaran yang lebih menekankan pada aspek kognitif mungkin guru bisa melakukannya, tetapi apabila memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif seperti sikap dan ketrampilan pasti guru akan mengalami kesulitan.
Secara gamblang, dapat kita lihat dari ketercapaian yang diperoleh peserta didik misalnya pada materi shalat, masih sebatas pengetahuan tantang tata cara shalat yang benar serta bagaimana mempraktekkannya. Esensi serta hikmah shalat masih belum menancap kuat pada sanubari peserta didik, dan belum terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Problematika pendidikan agama islam yang lain kerap dihadapi dalam kegiatan mengajar di sekolah selain keterbatasan waktu juga berasal dari proses belajar-mengajar, guru agama islam lebih terkonsentrasi persoalan-persoalan teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih menekankan pada pekerjaan mengajar atau transfer ilmu. Kegiatan belajar mengajar pendidikan agama islam seringkali terkonsentrasi dalam kelas dan enggan untuk dilakukan kegiatan praktek dan penelitian di luar kelas seperti di masjid atau di mushola. Kegiatan belajar mengajar pendidikan agama islam cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya dimana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya. Dari banyaknya problem yang dihadapi guru agama untuk mengatasi permasalahan tersebut terkendala oleh kurangnya waktu mengajar.
Disinalah pemberian mata pelajaran agama di sekolah-sekolah formal menemukan tantangannya. Sebab diakui atau tidak pendidikan agama ketika diformulasikan dalam sebuah kurikulum yang wajib diterapkan disebuah lembaga pendidikan formal, yang kerap terjadi adalah tidak sampainya pendidikan itu dalam prilaku siswanya. Artinya, pendidikan agama pada siswa belum sampai pada tahap bagaimana beragama dengan benar karena yang terjadi adalah siswa belajar tentang agama dan tak ada jaminan bahwa agama itu akan menjadi spirit yang mendasari perilaku siswa.
Pendidikan agama itu dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Namun dalam kenyataannya, adakah semua hal tersebut telah terpenuhi.
Sebetulnya, banyak pendekata pembelajaran pendidikan agama yang bisa dilakukan tidak hanya oleh seorang guru agama saja tapi oleh semua guru di sekolah pada umumnya. Hal yang terpenting sesungguhnya guru tidak bertindak sebagai tukang khutbah yang menjejali murid-muridnya dengan pengetahuan agama tanpa upaya merefleksikannya dalam kehidupan nyata. Hal yang sama bisa diterapkan pada persoalan budi pekerti atau akhlak mulia. Guru tak perlu menjelaskan apa dan bagaimana budi pekerti. Akan lebih mengena jika guru melakukan pembiasaan dengan terus memantau segala hal terkait perilaku peserta didik. Keteladananlah yang terpenting. Artinya, sebelum berbicara akhlak mulia guru harus memosisikan dirinya sebagai figur yang patut menjadi teladan bagi anak didiknya.

Semestinya, sebagai ujung tombak pendidikan agama di sekolah, guru harus memiliki totalitas untuk anak didik. Seperti masalah jam pelajaran yang hanya dua jam dalam satu minggu dapat disiasati dengan cara menambah pembelajaran pendidikan agama islam melalui pembelajaran ekstrakulikuler. Hal tersebut bertujuana agar dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dapat menciptakan suasana yang menyenangkan serta memungkinkan guru agama dapat menyampaikan pembelajaran secara penuh kepada anak didik.



link :http://fauzanwidhodho11.blogspot.co.id/
facebook : Fauzan Widhodho
prodi : Pendidikan Agama Islam
Previous Post
Next Post

وَلَا تَهِنُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَاَنۡتُمُ الۡاَعۡلَوۡنَ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ‏ Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.

0 komentar: