Fungsi dan pendekatan Pendidikan Agama Islam yang belum dapat
diterapkan oleh para praktisi pendidikan dan guru agama pada umumnya merupakan
bukti yang paling kongkrit dari problematika pendidikan itu sendiri. Bahwa
setelah para peserta didik digembleng pendidikan agama dalam jangka sekian
waktu di sekolah mulai SD hingga SMA, adakah jaminan bahwa nilai-nilai luhur
itu telah tertanam dan melekat dalam jiwa peserta didik yang akan memengaruhi segala prilaku sehari-hari
dalam kehidupan individual, maupun sosial kemasyarakatan.
Menjadi seorang guru pendidikan agama islam dimasa moderen seperti sekarang
memang cukup sulit. Terlebih tantangan atau problematika yang dihadapi saat mengajar terkadang bukan dari siswa atau
lingkungan sekolah saja. Berbagai tantangan yang dihadapi seorang guru agama islam dalam mengajarkan
ilmu agama merupakan tanggung jawab yang cukup sulit.
Permasalahan pendidikan agama islam di sekolah salah
satunya ialah jam belajar yang minim. Waktu yang hanya dua jam dalam satu mingu
itu tentu tidak cukup untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara formal
pelaksanaan pendidikan agama islam disekolah hanya dua jam dalam seminggu. Jadi
apa yang bisa mereka peroleh dari pendidikan yang hanya dua jam dalam satu minggu.
Jika hanya sebatas memberikan pengajaran yang lebih menekankan pada aspek
kognitif mungkin guru bisa melakukannya, tetapi apabila memberikan pendidikan
yang meliputi tidak hanya kognitif seperti sikap dan ketrampilan pasti guru
akan mengalami kesulitan.
Secara gamblang, dapat kita lihat dari ketercapaian yang diperoleh
peserta didik misalnya pada materi shalat, masih sebatas pengetahuan tantang
tata cara shalat yang benar serta bagaimana mempraktekkannya. Esensi serta
hikmah shalat masih belum menancap kuat pada sanubari peserta didik, dan belum
terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Problematika pendidikan agama islam yang lain kerap
dihadapi dalam kegiatan mengajar di sekolah selain keterbatasan waktu juga
berasal dari proses
belajar-mengajar, guru agama islam lebih terkonsentrasi persoalan-persoalan
teoritis keilmuan yang bersifat kognitif semata dan lebih menekankan pada
pekerjaan mengajar atau transfer ilmu. Kegiatan
belajar mengajar pendidikan agama islam seringkali terkonsentrasi dalam kelas
dan enggan untuk dilakukan kegiatan praktek dan penelitian di luar kelas seperti di masjid atau di
mushola. Kegiatan belajar mengajar pendidikan agama
islam cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya dimana
lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan
perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya. Dari banyaknya problem yang
dihadapi guru agama untuk mengatasi permasalahan tersebut terkendala oleh
kurangnya waktu mengajar.
Disinalah pemberian mata pelajaran agama di
sekolah-sekolah formal menemukan tantangannya. Sebab diakui atau tidak
pendidikan agama ketika diformulasikan dalam sebuah kurikulum yang wajib diterapkan
disebuah lembaga pendidikan formal, yang kerap terjadi adalah tidak sampainya
pendidikan itu dalam prilaku siswanya. Artinya, pendidikan agama pada siswa
belum sampai pada tahap bagaimana beragama dengan benar karena yang terjadi
adalah siswa belajar tentang agama dan tak ada jaminan bahwa agama itu akan
menjadi spirit yang mendasari perilaku siswa.
Pendidikan agama itu dimaksudkan untuk peningkatan
potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Peningkatan
potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai
potensi yang dimilikinya. Namun dalam kenyataannya, adakah semua hal tersebut
telah terpenuhi.
Sebetulnya, banyak pendekata pembelajaran pendidikan
agama yang bisa dilakukan tidak hanya oleh seorang guru agama saja tapi oleh
semua guru di sekolah pada umumnya. Hal yang terpenting sesungguhnya guru tidak
bertindak sebagai tukang khutbah yang menjejali murid-muridnya dengan
pengetahuan agama tanpa upaya merefleksikannya dalam kehidupan nyata. Hal yang
sama bisa diterapkan pada persoalan budi pekerti atau akhlak mulia. Guru tak
perlu menjelaskan apa dan bagaimana budi pekerti. Akan lebih mengena jika guru
melakukan pembiasaan dengan terus memantau segala hal terkait perilaku peserta
didik. Keteladananlah yang terpenting. Artinya, sebelum berbicara akhlak mulia
guru harus memosisikan dirinya sebagai figur yang patut menjadi teladan bagi
anak didiknya.
Semestinya, sebagai ujung tombak pendidikan agama di
sekolah, guru harus memiliki totalitas untuk anak didik. Seperti masalah jam
pelajaran yang hanya dua jam dalam satu minggu dapat disiasati dengan cara
menambah pembelajaran pendidikan agama islam melalui pembelajaran
ekstrakulikuler. Hal tersebut bertujuana agar dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar dapat menciptakan suasana yang menyenangkan serta memungkinkan
guru agama dapat menyampaikan pembelajaran secara penuh kepada anak didik.
link :http://fauzanwidhodho11.blogspot.co.id/
facebook : Fauzan Widhodho
prodi : Pendidikan Agama Islam
0 komentar: